Selasa, 10 Januari 2012

Terima Kasih, Cinta!

“Krriiiiiiinnngggggg” bunyi bel panjang yang tepat berada diatasku, seketika menyadarkanku dari lamunan wajah manisnya. “Untung saja aku masih sempat mencuri pandang ke arahnya. Melihat keindahan senyum pucatnya dibalik pintu kelas.”tuturku perlahan sambil mengelus-elus dada.
            Ohya, namaku Cinta. Cinta Setyadini, tepatnya. Dan yang tadi aku maksud wajah manis adalah wajah Sandi Dwiaksara, cowok yang paling ku kagumi. Bagiku, Sandi adalah cowok paling sempurna dan plus plus didunia ini—bahkan melebihi Abangku sendiri. Tapi, aku tak bisa mengungkapkan kekagumanku padanya dikarenakan faktor minder. Keminderanku selama ini membuatku takut untuk menyapanya. Oh Tuhan, kapan situasi buruk ini bisa berakhir.
Suasana gaduh di kelas 9C pagi ini sudah menjadi pemandangan rutin. Semua sibuk membuat onar di kelas. Sedangkan aku, seperti biasa hanya duduk manis dibangku pojok paling belakang bersama Septi, sahabatku. “Cin, kayaknya hari ini bakal banyak jam kosong deh. Lebih baik, kita ke kantin yuk. Daripada ntar kita jadi bahan keusilannya Genk Seminyak—genk yang hobi banget bikin onar di 9C.”ajak Septi sambil menarik tanganku. “Iya-iya.”ucapku menurut. Kami berjalan menuju kantin yang berada di bagian belakang sekolah.
***
Jam istirahat pertama hari ini adalah jadwalku untuk bertugas menjaga UKS. Aku adalah anggota PMR di sekolah. Kata kakak Pembina PMR, kita sebagai anggota PMR harus punya motto hidup. Tapi sayangnya, sampai sekarang aku belum nemuin motto hidupku.
Saat aku berjalan menuju UKS, aku melirik kearah lapangan. Pandanganku tertuju pada Sandi yang duduk di bawah ring di temani Vivi. Sandi dan Vivi terkenal sangat dekat. Sejenak aku berdiri mematung dan melamun. Saat itu, dipikiranku hanya ada Sandi. Entahlah, rasanya apa saja yang dilakukan Sandi, semua itu buatku kagum padanya.
“Cinta!”kata Mbak Rani sambil menepuk bahuku. Seketika aku sadar dari lamunanku. “Cepat kamu ke UKS. Belum ada yang jaga tuh.”tambah Mbak Rani sambil melihat kearah UKS. “Iya, Mbak.”jawabku sambil senyam-senyum tak berdosa dan berjalan menuju UKS.
Kali ini bener-bener sepi. Gak ada satupun orang yang lewat di depan UKS. Mungkin karena UKS berada di belakang ruang guru. Saat itu, aku bener-bener kecapekan makanya aku ketiduran di meja UKS. Dan kayaknya itu agak lama.
***
“Eh! Bangun, Cin!”terdengar suara perempuan yang membangunkanku. “Iya-iya.”jawabku gelagapan. “Cepet nih bantu Sandi. Kepalanya kena bola.”kata Vivi sedikit geram. “Cepat bawa ke tempat tidur!”perintahku.
“Aduh. Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Ini Sandi. Cowok yang selama ini ku kagumi. Dia pingsan di depanku. Bagaimana ini?”ucapku gelisah dalam hati. “Eh, cepetan kali. Keburu Sandi kenapa-kenapa.”omel Vivi yang dari tadi berdiri gelisah di sampingku. “Atau jangan-jangan, kamu gugup ya.”canda Vivi menebak-nebak. Aku hanya tersenyum, tapi bukan berarti mengiyakan tebakannya.
Aku membiarkan Sandi istirahat di UKS, sedangkan Vivi kembali ke kelasnya karena jam pelajaran berikutnya akan dimulai. Sembari menunggu Sandi sadar, aku menghabiskan waktu untuk mengotak-atik BB.
***
Sekitar dua puluh menit ngotak-atik BB, Sandi sadar dan memanggil namaku. Aku bergegas menghampirinya sambil membawa minyak angin.
Saat berada tepat didepannya, aku tak berani menggerakan bibir untuk bertanya bagaimana keadaannya. Padahal aku sudah tiga tahun mengenalnya. Dulu Sandi adalah sahabatku, tapi entah kenapa aku dan dia semakin menjauh. Bahkan aku tak berani mengingat masa lalu yang sedikit suram itu.
Aku berdiri mematung di hadapannya. Tak berani melakukan apa-apa. Dia menatapku tajam penuh tanya. Senyum pucatnya lama-kelamaan mulai terbentuk dan tangan kanannya seperti ingin menyalamiku untuk mengucapkan sesuatu dan aku tak tahu apa itu.
“Cin, makasih ya. Kamu udah nemenin aku dan gak ninggalin aku di tempat yang aneh ini sendirian.”ucapnya sambil tersenyum lega. Saat aku ingin meraih tangannya, tiba-tiba saja Vivi datang dan Sandi menurunkan tangannya. “Huh! Iya, sama-sama, San.”balasku sembari membalas senyum leganya.
“Kamu udah sadar, San?”tanya Vivi. Sandi membalas dengan senyuman dan meninggalkan UKS lalu berjalan kembali ke kelas.
“Huh! Padahal sedikit lagi aku bisa meraih tangannya.”keluhku sambil geleng-geleng kepala. “Kak, permisi. Sekarang jadwal saya jaga.”kata Rosi, adek kelas yang katanya mirip denganku. “Oh. Iya-iya. Tepat sekali.”ucapku sembari keluar ruangan dengan wajah menekuk.
***
“Hari ini, bener-bener bikin puyeng”keluhku pada Septi. Septi hanya tersenyum simpul sambil menggeleng kepala. “Padahal sedikit lagi aku meraih tangannya.”tambahku. “Mungkin belum saatnya, Cin.”kata Septi yang mulai kesal melihatku mondar-mandir di depannya.
Saking asyiknya curhat, gak terasa sudah jam empat sore. Aku dan Septi bergegas balik ke rumah. Dan saat sampai di rumahpun, aku masih menyesali apa yang terjadi di UKS siang tadi. “Bang, coba aja tadi aku gak ngelamun. Pasti aku sempet megang tangannya kayak kejadian dulu. Nyesel aku, Bang. Rasanya nyesek banget.”keluhku pada Bang Reza, satu-satunya kakak kandungku. “Nyesel lagi. Nyesel lagi.”balas Bang Reza nyantai.
***
Esoknya disekolah...
“Hay, Cin. Masih murung aja. Udahlah lupain aja. Sapa tau, ntar-ntar kamu dapet yang lebih dari ini.”hibur Septi sambil merangkulku. “Maksud kamu?!”tanyaku sedikit bingung. “Hem. Ya gitu deh.”godanya sambil mengacak-acak rambut kritingku dan berlari. Reflek aku mengejarnya ke arah lapangan. Dan seperti biasa, aku kehilangan jejak Septi. Septi memang terkenal jago lari di sekolah. Ya, walaupun dia masih atlet lari tingkat sekolah, tapi lumayanlah.
Saat di tengah lapangan, aku sempat berpikir untuk kembali ke kelas. Tapi, setelah dipikir-pikir lagi, lebih baik aku mencari Septi saja. Daripada gak ada hiburan. Itung-itung, olahraga di pagi buta.
Aku menoleh ke kanan-kiri, tapi tak nampak batang hidungnya. Saat melewati ruang guru, aku tersandung kaki seseorang. “Ups, sorry gak sengaja.”ucap Vivi santai merasa tak bersalah. Sandi menunduk dan seperti ingin membantuku berdiri, tapi seperti biasa juga, Vivi mencegah. “Aduh, San. Ngapain sih bantu dia. Cewek udik dan culun ini.”cegah Vivi. “Em. Aku gak berniat membantunya.”jawab Sandi terbata-bata. “Lantas?”tanya Vivi lagi. “Mau benerin tali sepatu. Lagipula, gak level lah bantu cewek udik dan culun.”tambah Sandi sedikit gugup. “Kalau gitu, kamu usir dia deh. Gak tahan sama baunya yang menyengat.”perintah Vivi. Dengan wajah terpaksa Sandi mengusirku. “Pergi sana!!”usir Sandi sembari mendorong pundakku. “Ke-ter-la-luan kamu, San.”ucapku terbata-bata memberanikan diri. Aku yang terlanjur kesal berlari menuju kelas.
***
Saat pulang sekolah, Septi mampir ke rumah untuk mendengarkan keluh kesahku.
“Sep, aku mau curhat. Kali ini, dengerin ya.”pintaku. “Siip.”jawab Septi sambil mengacungkan jempol.
Aku menceritakan semua masalah yang terjadi tadi pagi di sekolah. Tanpa terkecuali, semua ku ceritakan, masalah tentang Vivi menyandungku sampai Sandi berani mengusirku.
Setelah mendengar ceritaku, Septi memberi saran yang tak diduga-duga. “Gimana kalau kita make over kamu?! Siapa tau nanti Sandi berbalik ngejar-ngejar kamu?!”usulnya. “Hah?! Kamu yakin?!”ucapku tertegun. “Yakin banget. Tapi jangan sekarang. Kita harus uji Sandi dulu.”jelasnya. “Maksudmu?!”tanyaku bingung. Septi membisikkan ide yang cukup bodoh itu. Dan aku terpaksa harus setuju. Karena ini demi kebaikan bersama.
“Cin, aku pulang dulu ya. Besok ketemu disekolah.”pamit Vivi. Aku hanya melempar senyum. “Bang Za, balik dulu ya.”sapanya pada Bang Za. “Siip.”balas Bang Reza. Septi berlalu dari pandanganku. Aku mengunci pagar dan masuk menutup pintu meninggalkan Bang Za yang lagi sibuk ngotak-atik handphone.
***
Semalaman ini, aku masih memikirkan maksud rencana Septi yang belum bisa masuk dan dirangsang otakku. Sampai-sampai aku lupa dengan tiga PR dimeja belajar. Setelah ingat, aku langsung melompat ke kursi meja belajar dan fokus mengerjakan PR yang banyak ini.
“Cinta!!”teriak Bang Za dari arah luar. “Iya, Bang.”balasku sambil berjalan keluar menemui Bang Za. Saat sampai di luar, aku melihat Septi berdiri didepan pagar sambil membawa setas buku. “Eh, Cin. Aku butuh bantuan nih.”katanya sambil nyelonong masuk. “Apa lagi?!”tanyaku malas. “Biasalah. Masalah PR.”jawabnya santai. Aku menunduk lesu meratapi kebiasaan buruk sahabatku.
Aku sibuk menjelaskan PR pada Septi. Sekitar pukul setengah sepuluh, Septi pamit pulang. Sedangkan aku langsung tergeletak lesu diatas tempat tidur dan tertidur lelap sampai besok hari.
***
Dengan malas aku memasuki kawasan sekolah. Entah mengapa, perasaanku saat ini benar-benar tidak enak. Septi menjemputku didepan gerbang sekolah dengan riang. “Semoga hari ini baik-baik aja.”tuturku perlahan. Seketika Septi menghentikan langkah dan menatapku tajam penuh tanya. “Kenapa?!”tanyaku bingung. Septi menggelengkan kepala dan meneruskan langkah menuju kekelas.
Awalnya, hari ini tampak seperti biasa dan gak ada yang aneh. Pelajarannya pun berjalan seperti biasa. Tapi semua tampak aneh waktu jam istirahat. Septi tak nampak disekitar kelas. Aku bergegas ke kantin untuk mencari sahabatku karena aku ingin menanyakan maksud dan tujuan dari rencananya.
Saat dikantin, aku melihat Vivi dan teman-temannya berjalan menuju kelasku. Aku tak berpikir panjang soal itu dan gak ada rasa curiga sedikitpun. Aku melanjutkan jalan menuju kantin untuk mencari Septi.
“Dikantin gak ada, dikelas gak ada. Terus, dia dimana?”keluhku. “Eh, Cin. Tadi Septi bilang kalau dia harus pulang duluan karena Si Mbahnya sakit.”kata Ilham, ketua kelas 9C. “Oh. Iya-iya, Ham. Makasih ya.”ucapku. “Sama-sama.”balas Ilham sambil berjalan meninggalkanku. Aku bergegas kembali kekelas.
Saat dikelas, aku tertegun bingung karena melihat banyak orang mengerumuni tempat dudukku. “Permisi-permisi.”ucapku mencoba menerobos kerumunan itu. “Aku gak nyangka kamu bakal kayak gini sama aku, Cin. Aku nyesel dulu pernah sahabatan sama kamu. Aku benci sama kamu Cin!”omel Sandi padaku yang tak tahu gerangan apa yang sedang terjadi. “Cinta, ikut bapak ke ruang BK.”sambung Pak Sahid dengan geram. Aku menurut dan mengikuti langkah kaki Pak Sahid menuju BK.
***
“Apa, Pak?!”kataku terkejut mendengar penjelasan dari Pak Sahid. “Udahlah, cin. Ngaku aja. Semua bukti mengarah ke kamu.”tambah Sandi tak kalah geram. “Benar, Pak. Saya gak mencuri handphone Sandi. Saya benar-benar gak melakukannya.”ucapku membela diri. “Saya tadi sempat melihat Vivi dan kedua temannya berjalan ke arah kelas 9C. Bisa saja kalau mereka yang menjebak saya.”tambahku. “Apa maksud kamu?! Kamu nuduh Vivi?!”tanya Sandi sembari tersenyum sinis. “Kamu gila apa? Vivi itu kaya dan dia gak mungkin mencuri handphone ku. Apalagi, dia teman dekatku. Kamu benar-benar pandai memutar balikkan fakta. Aku semakin benci sama kamu, Cin!”sambung Sandi marah besar.Aku sudah mencoba menjelaskan semua. Tapi, aku benar-benar gak tau apa yang ada dipikiran Sandi. Aku gak menyangka kalau sahabatku—lebih tepatnya mantan sahabat, bisa bersikap gitu. Aku bener-bener bingung.“Sandi, hukuman apa yang harus diberikan pada Cinta?!”tanya Pak Sahid. “Gak perlu, Pak. Lagipula handphone aku udah ada ditanganku lagi.”kata Sandi yag sedikit membuatku lega. “Yakin?! Bagaimana kalau Cinta gak jera?”tanya Pak Sahid sekali lagi. Sandi hanya melempar senyum. “Ya sudah. Cinta, kamu harus berterima kasih pada Sandi. Dan kamu boleh keluar.”perintah Pak Sahid padaku. “Terimakasih, Pak.”tuturku. Aku sama sekali tak melempar senyum pada Sandi yang menatapku.
Saat aku memasuki kelas, semua mata tertuju padaku. Mereka menatapku seolah tak menyangka apa yang ku lakukan. “Apa?!!”teriakku. “Kami gak nyangka aja kalau kamu bisa berbuat kayak gini.”kata Ilham menjawab. “Sudahlah. Belum tentu kalau Cinta pelakunya. Kalian gak berhak menghakimi Cinta.”ucap Mega menenangkan. Aku berjalan lesu kearah tempat duduk dan menunduk menahan malu. “Tuhan, kapan ini berakhir?!”tanyaku menahan tangis.
Sisa-sisa jam pelajaran hari ini membuatku tak bergairah lagi. Saat bel pulang sekolah berdering, aku berjalan cepat setengah lari agar semua orang tak melihat wajahku. Kali ini, aku tak melangkahkan kaki pulang ke rumah, melainkan ke rumah Septi untuk menceritakan semua masalah ini sekaligus menjenguk Si Mbah yang katanya lagi sakit.
***
“Sep, kapan nih kamu mau make over aku?!”tanya sambil memulai perbincangan. “Jangan buru-burulah, Cin. Masih ada banyak waktu kok. Nyantai aja kali.”jawab Septi nyantai. “Gak bisa, Sep. Sekarang aja, gimana?”tawarku tak sabaran. “Kenapa sih harus buru-buru? Ada something?”tanyanya lagi. Aku menceritakan semua kejadian hari ini disekolah. Septi tampak bingung waktu mendengar cerita ini. “Kita pergi kerumah Tante Susi sekarang. Biar dia yang make over kamu.”ucapnya yang berbalik menjadi terburu-buru dan sepertinya dia sedikit kesal.
Septi menggandeng tanganku menuju rumah Tante Susi. Semua orang dikampung ini tau kalau Tante Susi itu paling bisa ngerubah orang yang dari awalnya ‘jelek’, berubah jadi ‘cantik’ atau ‘ganteng’ kayak aku.
Saat sudah sampai ditempat tujuan, Tante Susi langsung mempersilahkanku duduk. Tante Susi membuka laci mejanya dan mengeluarkan gunting beserta perangkatnya. Tangan terampil Tante Susi bergerak cepat dan merubah rambut kritingku yang susah diatur menjadi indah seperti rambut seorang putri di negeri dongeng.
“Makasih, Tante.”kata Septi. “Iya, sama-sama.”jawab Tante Susi sambil tersenyum. “Emangnya gak susah ya ngubah rambut gimbal temen saya ini? Ha-ha-ha.”tanya Septi sambil tertawa menyindir. “Gampang kok, Sep. Sebenernya, temen kamu ini cantik. Tapi kurang ditata sedikit. Lihat deh, sekarang dia jadi kayak seorang putri impian di negeri dongeng. “Ah, Tante bisa aja nih.”ucapku malu-malu sambil tersenyum Ge-eR. “Kami pamit pulang ya, Tante. Sekali lagi makasih banyak.”tutur Septi sambil melambaikan tangan ke arah Tante Susi disusul lambaian tangan dariku.
***
            “Balik dulu ya, Sep. Thanks banget ya.”ucapku sebelum aku dan Septi balik ke rumah masing-masing. “Siip. You’re welcome, Princess. Ha-ha-ha.”katanya sedikit menggoda. Au dan Septi berpisah jalur karena rumah kamu berbeda gang.
            Saat dijalan memasuki gang, semua tetangga mengarahkan pandangan matanya kearahku. “Aduh, kenapa ini?”keluhku dalam hati. “Ini Mbak Cinta, ya?”tanya Rio, tetanggaku. Aku hanya tersenyum dan berjalan cepat sedikit menuju rumah.
            “Akhirnya.”ucapku lega sambil menutup pintu gerbang. Aku melihat Bang Za yang lagi duduk didepan pintu seperti nampak memandang aneh ke arahku. “Apa?!”tanyaku mengagetkannya. “Ini Cinta, Bang.”jelasku. “Siapa yang nanya? Lagipula aku udah tau kok.”ucapnya santai sambil melet-melet. Aku hanya melempar senyum sinis kearahnya dan bergegas masuk ke kamar.
 Aku menatap cermin dan tersenyum. “Ternyata aku cantik juga kalau udah di make over.”pujiku pada diri sendiri. Sejak saat itu, aku udah bisa lebih aktif dan akan balas dendam sama Sandi yang udah njatuhin aku didepan umum. “Tunggu pembalasanku, San.”tuturku perlahan.
Selanjutnya, aku hanya melakukan hal seperti biasa. Menata semua peralatan sekolah dan mengerjakan semua PR buat esok hari. Lalu tidurr.
***
Memasuki gerbang utama sekolah...
“Cinta?”ucap Ilham heran. “Kenapa, Ham?”godaku. “Ini beneran Cinta?”tanya Ilham seolah tak percaya. Aku hanya tersenyum riang padanya lalu menyusul Septi dikelas. “Mbak Cinta?”tanya Rosi, adik kelasku yang dulunya mirip sama aku. “Iya, Ros.”jawabku singkat sambil tersenyum.
“Cieilah, Cinta.”goda Septi saat aku diduduk disampingnya. “Apa’an deh?!”tanyaku malu. “Eh, kita ke lapangan yuk. Kita lihat ekspresi Sandi.”ajaknya. Aku mengekornya dibelakang dan semua orang masih melihat serius kearahku. “Ternyata begini rasanya jadi cewek cantik yang selalu jadi pusat perhatian.”tuturku dalam hati sambil tersenyum ceria.
“Eh, San! Ada yang mau ngomong sama kamu nih.”kata Septi sambil mendorongku kearah Sandi. “Cinta?!”tanya Sandi heran. “Eem. Iya, aku Cinta.”jawabku masih sedikit gugup saat menatapnya. “Kamu berubah banget, Cin.”balasnya. “Tambah cantik, Cin.”tambahnya sambil memuji. “Makasih.”jawabku sedikit ketus. “Gimana kalau kita mulai semua dari awal?!”tawarnya. “Maksud kamu?”tanyaku. “Kita sahabatan lagi kayak dulu.”jelasnya lebih lanjut. “Sorry ya, San. Kayaknya gak bisa deh.”celoteh Septi ketus. “Tapi?!”tanya Sandi. Saat aku ingin menjawabnya, Septi keburu menarik tanganku ke kelas.
“Apa’an sih, Sep?!”omelku. “Jangan halus-halus sama dia. Ntar dianya semakin ngelunjak. Emangnya kamu mau kejadian kayak dulu lagi?”jawab Septi. “Inget, Cin. Tujuan awal kita adalah balas dendam atas apa yang Sandi lakukan sama kamu.”tambahnya. aku mengangguk perlahan.
***
Saat jam istirahat, aku melangkah sendiri menuju kantin. Aku melihat Vivi, Cesa dan Windi dibangku pojok kantin. Diam-diam aku mendekati mereka. “Eh, Vi. Ajaib banget ya. Kamu bisa buat Sandi berubah kasar sama Cinta. Dua jempol deh buat kamu.”puji Cesa pada Vivi sambil mengacungkan jempol. “Apa?! Jadi, selama ini Vivi yang njebak aku dan Sandi.”ucapku geram dalam hati. Aku terus mendengar percakapan mereka. Tiba-tiba, Sandi datang menuju kearah Vivi dan kawan-kawan. Langkah Sandi terhenti saat Sandi mendengar bahwa Vivi hanya memanfaatkan Sandi.
“Apa, Vi?!”tanya Sandi geram. “Eh, San. Maksud aku bukan gitu. Kamu jangan salah paham dulu sama aku. Aku gak bermaksud.”kata Vivi menjelaskan gelagapan. Aku tersenyum sinis saat melihat mereka beradu mulut. “Bener-bener serba kebetulan.”ucapku perlahan sambil berjalan kembali ke kelas.
Tiba-tiba langkahku terhenti saat Sandi memanggilku. Aku berbalik badan dan Sandi berjalan kearahku. “Hay, Cin. Aku bener-bener minta maaf sama kamu. Kalau aku tau dari awal, aku gak akan jauhin kamu. Aku minta maaf.”jelasnya. Sebenarya, aku ingin sekali memaafkan Sandi, tapi tiba-tiba saja aku teringat kata-kata Septi. “Udah telat, San!”jawabku ketus. “Tapi, bukannya dulu kamu sering bilang kalau lebih baik kita terlambat daripada tidak sama sekali?”ucapnya berharap. “Kata-kata itu terakhir ku ucapkan waktu kita lulus SD. Jadi, jangan ulang kata-kata itu lagi!”jelasku semakin ketus. Aku meninggalkannya menuju kelas.
***
“Cin, tunggu! Lusa aku dan anak-anak akan tanding basket. Aku mau minta tolong sama kamu untuk cari suporter. Gimana? Mau kan?”tanyanya halus. “Aduh, maaf ya, San. Cinta gak bisa tuh.”jawab Septi. “Aku tanyanya ke Cinta. Bukan kamu, Sep.”omelnya. “Gimana, Cin?”tambahnya. “Maaf, San. Aku gak bisa. Aku udah ada janji. Jadi, kamu cari bantuan orang lain aja. Jangan bikin aku tambah repot.”celotehku amat ketus. “Oh. Ya udah, Cin. Maaf ya kalau selama ini aku terus-menerus ngerepotin kamu.”jawab Sandi lemas lalu berjalan mendahuluiku.
“Cin, acting kamu bagus banget. Salut!”puji Septi. “Aku gak tega sama Sandi. Bagaimanapun juga, dulu Sandi adalah sahabatku.”tuturku. “Cinta! Please deh.”ucapnya. Aku hanya menghela nafas panjang lalu berjalan menuju rumah.
Saat dijalan, aku benar-benar merasa bersalah sama Sandi. Aku masih bingung apa yang harus ku lakukan. Aku mengingat masa laluku yang indah bersama Sandi. Dulu, Sandi orang yang halus dan murah hati. Bahkan hanya dia yang bisa membuatku tersenyum saat aku menangis. Dia juga yang membuatku merasa nyaman saat aku sendirian. Tapi, sekarang semua berubah. Semua berubah karena masa SMP. Aku sempat merasa benci dengan kata SMP. Lambat-laun, aku mengerti kalau roda kehidupan pasti berputar dan aku harus belajar memahami semua ini. Ikhlas dan sabar adalah kuncinya. Aku yakin, suatu saat semua ini akan berakhir.
***
Saat sampai dirumah, aku masih saja sering melamunkan Sandi. Berbagai pertanyaan muncul dibenakku. “Bagaimana kalau Sandi dan tim basketnya drop jika gak ada yang mendukung mereka?”tanyaku pada hati kecilku. “Apa yang harus ku lakukan?!”teriakku sambil memukul meja. “Woy, Cin. Berisik tau!”omel Bang Za dari arah luar. “Ya maaf, Bang.”tuturku.
Aku membuka buku kecil yang diberikan Sandi untukku saat kita masih bersahabat dulu. Disitu masih tertulis rapih tulisan “Kita sahabat selamanya.” yang ditulis oleh Sandi. Melihat tulisan itu, air mata perlahan membasahi pipiku. Aku terisak sambil membuka halaman demi halaman buku kecil itu. “Sandi, aku merindukan kita yang dulu.”ucapku dalam hati yang semakin membuat air mataku tumpah.
Sudah cukup lama aku memendam kenangan itu. Dan sekarang, aku berani membukanya. Mengingat masa indah yang ku lalui bersama Sandi. Air mataku tumpah terus-menerus saat aku mengingatnya. Aku masih bingung apa yang ku rasakan sekarang. Entah itu rasa kagum atau malah membenci.
***
Aku terbangun mendengar suara alarm milik Bang Reza. Aku baru sadar kalau aku tertidur diatas meja. Dan pagi ini, rasanya sedikit lebih lega. Aku berjalan ke kamar mandi dan bergegas mandi. Setelah itu, aku berangkat ke sekolah.
“Hay, Cin.”sapa Ilham. “Hay juga, Ham.”sapaku balik. Aku melihat Sandi berjalan disampingku. Aku ingin sekali menyapanya. Tapi, mulut ini tak kunjung mengucapkan kata-kata itu. Dan rasanya nyesek lagi.
Hari ini, Septi gak masuk karena dia harus pulang ke rumah Ayahnya di Solo, Jawa Tengah. “Sepi rasanya.”keluhku.
Keadaan sekolah hari ini gak jauh beda sama kemarin. Semua berjalan biasa saja dan gak ada yang special. Aku hanya menghabiskan waktu dikelas. Hanya duduk manis menundukkan kepala. Aku sudah memutuskan apa yang harus ku lakukan besok dan mudah-mudahan saja itu keputusan terbaik.
Pelajaran demi pelajaran berlalu. Dan bel panjang tanda pulang sekolah berbunyi. Aku berjalan santai menuju pulang kembali ke rumah. Hari ini, benar-benar hari yang sangat singkat.
Dirumah, aku menghabiskan waktu hanya untuk tidur sambil menunggu hari esok. “Aku udah capek nangis. Aku udah capek sama semua ini. Masalah ini harus segera diselesaikan.”ikrarku.
***
Esoknya, aku bangun pagi-pagi. Bang Za sedikit kuatir dengan sikapku hari ini. “Cinta, kamu baik-baik aja kan?”tanyanya. Aku hanya tersenyum lalu meninggalkannya ke sekolah. Hari ini bener-bener cerah. Sekarang, aku adalah Cinta yang dulu. Aku sudah memutuskan untuk menjadi diriku sendiri. Aku gak mau kalau orang-orang memandangku bukan sebagai Cinta. “Aku, Cinta Setyadini berjanji akan menjadi diri sendiri.”ikrarku sambil tersenyum.
“Cinta?!”tanya Ilham heran. “Yes, I’m Cinta.”jawabku santai. Ilham melongo melihat penampilanku. Aku tak menghiraukannya dan segera ke ruang informasi. Ya, mumpung Sandi belum datang. Aku mau kasih dia sureprise. “Permisi, Pak. Saya mau kasih pengumuman.”ucapku meminta izin. “Silahkan.”katanya. Aku berjalan melangkahkan kaki kearah microphone. Aku menghela nafas panjang. “Diumumkan kepada semua siswa, bagi yang berkenan menjadi suporter basket, silahkan menuju ke tempat informasi. Hanya untuk lima belas sampai dua puluh siswa. Terima kasih.”ucapku. Aku meletakkan microphone dan menuju keluar.
Tak disangka, diluar sudah ada sekitar enam belas orang. Semua mengharapkan agar bisa ikut menjadi suporter tim basket sekoah. “Iya-iya. Semua bisa ikut kok.”ucapku menenangkan mereka. Aku bergegas meminta ijin pada guru piket hari ini. Untung saja, guru piket itu mengijinkan.
Mobil angkutan Bang Za sudah menunggu digerbang. Semuanya bergegas masuk untuk mendapatkan tempat duduk. Suasana angkutan sangat sumpek. Kita berjubel untuk bisa duduk. Sekitar tiga puluh menit didalam angkutan, kami memilih untuk berjalan kaki saja. Alasannya adalah karena pertama, jalanan macet banget dan kedua, kami sudah gak tahan berada didalam mobil yang panas itu.
“Mbak Cinta, apa tempatnya masih jauh?”tanya Rosi. “Sebentar lagi nyampe kok, Dek.”kataku untuk menyemangati langkahnya yang hampir pupus. Aku, Rosi dan kawan-kawan lainnya terus menjalankan kaki menuju tempat pertandingan basket.
***
Akhirnya, kami sampai juga. Aku dan kawan-kawan menghapus tetesan keringat diwajah. “Kelihatannya pertandingan udah mulai. Ayo kita masuk!”ajakku. “Tunggu, Kak. Apa Mbak Cinta gak ada dendam sama Mas Sandi? Semua orang tau kalau Mas Sandi benci sama Mbak Cinta.”tanyanya yang membuatku terdiam. “Mbak?”lanjutnya menyadarkanku. “Em. Tapi gak seharusnya kejahatan dibalas dengan kejahatan kan? Lebih baik, kita mengasihi musuh kita.”jelasku. Semua mengangguk dan melanjutkan berjalan masuk.
Saat berada didalam, aku melihat Sandi sangat kelelahan. Tak ada yang mendukungnya saat itu. Spontan aku berteriak menyemangatinya, “Ayo, Sandi! Kamu pasti bisa!”. Seketika, semua orang menatap kearahku. Tiba-tiba, Rosi dan kawan-kawan berteriak membantuku. Sandi terlihat lebih baik dari sebelumnya. Dia terlihat lebih semangat.
Waktu berjalan sangat cepat. Score demi score pun berhasil disusul. “Semoga aja Sandi dan kawan-kawan berhasil.”sahut Vivi. Aku terkejut ketika melihatnya. Dia menyodorkan tangannya dan meminta maaf. Sebenarnya aku ragu. Tapi, aku melihat ketulusan dari matanya. “Iya, aku juga minta maaf.”jawabku sambil tersenyum. Kami terus menyemangati Sandi dan tim.
***
“Sandi, selamat ya!”ucapku Sandi yang meneguk sebotol air mineral. “Iya. Makasih ya, Cin.”jawabnya. “Aku mau minta sama kamu ya, Cin. Aku sadar kalau selama ini aku salah.”katanya meminta maaf. “Aku juga mau minta maaf sama kamu, San. Aku salah udah manfaatin kamu. Dan makasih juga udah maafin aku, Cin.”sambung Vivi. “Iya. Sama-sama.”ucapku disusul senyuman dari Sandi.
“Aku janji gak akan buat kamu sedih lagi. Kamu adalah sahabat terbaikku, Cin.”kata Sandi berjanji. “Iya. Kamu juga sahabat terbaikku kok.”balasku. “Lalu Septi?”godanya. “Dia juga sahabat terbaikku.”jawabku sambil tersenyum. “Terima kasih, Cinta!”ucapnya lembut. “Itulah kata-kata yang paling ku nantikan.”ucapku dalam hati dan mengangguk padanya. Sandi melompat kegirangan dan memelukku erat. Aku gelagapan saat itu. Benar-benar grogi rasanya.
***
Sejak saat itulah kami berteman. Sudah banyak pelajaran yang kami dapat. Kami gak akan ngelupain kejadian ini. Semua masalah pasti bisa diselesaikan dengan baik.

SELESAI